Pengrajin gula merah di wilayah Jawa masih sangat tergantung dengan tengkulak. Karena distribusi gula hanya melalui tengkulak, harga gula dengan mudah dipermainkan oleh para tengkulak. Hal ini tentu sangat merugikan para pengrajin gula merah di Jawa. Sedangkan Untuk wilayah sumatera sendiri, para pengrajin gula lebih beruntung, karena mayoritas gula merah di Sumatera di pegang oleh pengusaha yang kompeten, hal inilah yang mengakibatkan harga gula merah di Jawa dan Sumatera sering mengalami selisih harga yang sangat besar. Selain ulah monopoli para tengkulak, pihak PEMDA setempat pun dibuat tidak berdaya oleh ulah para tengkulak tersebut karena  distribusi gula merah sudah dikuasai oleh para tengkulak.
Nah, mengutip ayat Al-Qur’an Surat Alam Nasyrah 5-6: “Karena sesungguhnya setelah kesulitan itu ada kemudahan; sesungguhnya setelah kesulitan itu ada kemudahan”. Dan diperkuat dengan hadist man jadda wa jada yang berarti barangsiapa bersungguh-sungguh pasti akan mendapatkannya. Ayat dan Hadist tersebut menjadi inspirasi oleh beberapa pengusaha gula merah, salah satunya adalah Ahmad Ruba’i yang sejak 15 tahun silam menjadi satu-satunya eksportir gula merah ke Jepang, bersaing dengan pengrajin dari sejumlah negara. Pilihannya tersebut ternyata bukan semata karena keberuntungan akan adanya tawaran, melainkan juga karena buruknya sistem yang dirasakan petani dan pengrajin di tanah air. pada kisaran tahun 1980 hingga pertengahan 1995 harga komoditas pertanian selalu jatuh saat musim panen datang. Sementara saat tak panen harganya bisa melonjak. Kondisi ini secara langsung juga berpengaruh pada pengrajin gula merah yang ikut merasakan dampaknya. “Dari sana kami terus berusaha mencari jalan keluarnya, karena mau protes juga tidak tahu dan takut melakukannya,” ujar Ruba’i bersemangat. Karena usahanya yang gigih, pada tahun 1994 dia bertemu dengan seorang pengusaha asal Jepang, yang lantas mengajarkannya cara mengolah gula merah secara baik, dan berujung pada permintaan ekspor komoditas tersebut di akhir tahun 1995. Selama belasan tahun tersebut, Ruba’i mengaku tak pernah absen mengekspor gula merah, yang di Jepang dijadikan bahan dasar sirup, cuka dan alkhohol. “Sekarang saya khusus melayani ekspor. Kalau pasar lokal, disini banyak pengrajin lain yang memproduksinya,” sambung Ruba’i, yang hanya lulusan Sekolah Rakyat (setara SD).
Saat ini, Jepang meminta pasokan gula merah sebanyak 500 ton per bulan akan tetapi jumlah tersebut tidak terpenuhi. Kelompok tani yang menamakan diri Sariwangi tersebut baru dapat memenuhi permintaan 50 ton per bulan. Sebanyak 90 persen atau 450 ton belum terpenuhi. “Kami mengambil dari petani-petani kecil yang tidak menyetorkan gula merahnya kepada tengkulak. Saat ini, kami telah bekerja sama dengan tiga kelompok petani penderes yang saat ini sudah mulai hidup,” ujar Darsono Rowi. Ia menambahkan, saat ini kelompok tani tersebut tengah mengupayakan pinjaman modal untuk menambah kuota ekspor hingga 100 ton.Sentra gula merah terbesar di Banyumas adalah Kecamatan Cilongok, disusul Kecamatan Wangon, Kemranjen, dan lain-lain. Di Cilongok, hampir setiap desa memiliki petani penderes nira yang rata-rata mampu menghasilkan sekitar satu ton gula merah perbulan.
Memang informasi diatas di ambil dari KOMPAS edisi online pada tanggal 30 April 2003 , tapi data tersebut masih sangat relevan sampai sekarang.
Nah, semoga tulisan diatas dapat memberikan manfaat dan motivasi untuk para pengusaha gula merah di Indonesia.
[ di ambil dari berbagai sumber ]